
Alkisah, di sebuah daerah di Natuna, Kepualauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Sang suami bernama Baitusen, sedangkan istrinya bernama Mai Lamah.
Suatu ketika, mereka memutuskan merantau ke Pulau Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau Bunguran karena daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut, terutama karang dan siput.
Ketika pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan sebagaimana umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, ia pergi ke laut mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan), kelekuk-kulai (siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan.
Sedangkan sang istri Mai Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang untuk dibuat perhiasan. Baitusen dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran, karena warga pulau tersebut menunjukkan sikap yang ramah dan penuh persaudaraan.
Hari berganti hari, kehidupan Baitusen dan Mai Lamah semakin membaik. Suatu hari, ketika sedang melaut, Baitusen menemukan lubuk teripang. Di dalamnya terdapat ribuan ekor teripang. Wah, ini rezeki! Teripang- teripang ini mahal harganya, apalagi jika ku keringkan.
Para saudagar dari Singapura dan China tentu mau membelinya dengan harga mahal, katanya dengan senang. Sejak itu, Baitusen tak lagi mencari kerang dan ikan. Dari lubuk teripang temuannya, ia bisa menangkap banyak untuk dijual. Mai Lamah juga tak lagi mencari kulit kerang. Ia membantu suaminya mengeringkan teripang-teripang itu.
Tak lama, teripang kering milik Baitusen tersohor sampai ke negeri tetangga. Banyak saudagar dari Singapura dan China datang untuk membeli. Para saudagar itu memanggil Mai Lamah Nyonga May Lam, sedangkan Baitusen dipanggil Saudagar Teripang.
Dalam setahun, kehidupan Baitusen dan Mai Lamah berubah drastis. Mereka menjadi orang yang sangat kaya raya. Namun kekayaan mereka membuat perangai Mai Lamah berubah.
Mai Lamah tak lagi berkumpul dan mengobrol bersama tetangganya. Pergaulannya dengan para saudagar itu membuatnya lupa diri. Nama Nyonya May Lam membuatnya berpenampilan beda.
Ia menggunakan gincu, minyak wangi, dan bedak yang tebal. Perhiasan emas memenuhi leher dan tangannya. Jika tangannya digerakkan, maka gelangnya akan berbunyi krincing krincing.
Mengapa ia tak mau lagi bergaul dengan kita? tanya seorang tetangganya. Entahlah. Mungkin penampilan kita yang jelek dan berbau anyir? jawab tetangga yang lain. Hei, bukankah ia dulu serupa dengan kita? Bahkan dulu ia lebih kumal dari kita? seru yang lain. Begitulah para tetangga mulai memperbincangkan Mai Lamah.
Suatu hari, seorang tetangga mengadakan hajatan. Semua orang diundang, tapi Mai Lamah tak datang. Tetangga itu kemudian mengantar nasi ke rumahnya, supaya Mai Lamah juga mencicipi hidangannya.
Apa ini? tanya Mai Lamah ketika menerimanya. Nasi hajatan, Mai Lamah. Lauknya ikan asin dan sambal. Ada juga sayur daun pepaya. Kau suka, bukan? jawab tetangganya.
Suka? Hidangan semacam ini menjijikkan untukku. Coba, ciumlah bau ikan asin ini. Anyir sekali. Lekas kau bawa kembali nasimu ini. Aku tak sudi memakannya! kata Mai Lamah sambil melemparkan bakul nasi itu.
Si tetangga hanya tertegun mendengar perkataan Mai Lamah itu. Lain halnya dengan Baitusen. Ia tak berubah dan tetap sederhana. Ia selalu menasihati istrinya.
Istriku, rezeki itu datangnya dari Tuhan. Kau tak boleh sombong. Nanti Tuhan marah. Ingat, pertama kali kita datang ke pulau ini, bukankah tetangga-tetangga kita memperlakukanmu dengan baik? nasihat Baitusen kepada istrinya.
Itu dulu, Bang. Sekarang ceritanya lain. Aku sudah menjadi istri seorang saudagar, tentu saja tak boleh bergaul dengan sembarang orang, ketus Mai Lamah.
Suatu hari, Baitusen mengumumkan kalau Mai Lamah hamil! Semenjak itu, perilaku Mai Lamah bukannya bertambah baik, tapi malah hertambah sombong. Ia gemar memamerkan perhiasan emas untuk colon bayinya, hadiah dari para saudagar China dan Singapura.
Ketika Mak Semah, tetangganya yang seorang bidan menawarkan diri untuk memeriksa kehamilannya, Mai Lamah malah mencemoohnya. Aku hanya akan memeriksakan kehamilanku pada tabib dari China.
Mereka jauh lebih hebat darimu. Mak Semah hanya bisa diam. Rupanya wanita ini memang sudah benar-benar lupa diri, pikirnya dalam hati.
Tibalah saatnya Mai Lamah melahirkan. Siang itu perutnya terasa mulas sekali. Baitusan amat cemas. Aduhh aduhh aku tak tahan lagi, Bang. Panggilkan tabib China di kapal saudagar Apeng yang berlabuh di dermaga, teriak Mai Lamah.
Malang bagi mereka, kapal Saudagar Apeng pulang lebih awal dari rencana semula. Baitusen kebingungan. Tiba-tiba ia teringat pada Mak Semah.
Maaf, Baitusen. Aku tak bisa menolong istrimu. Aku sudah pernah menawarkan jasaku padanya. Tapi ia malah menghinaku, jawab Mak Semah. Bawalah ia ke pulau seberang. Di sana ada bidan yang terkenal. Mungkin istrimu mau diperiksa olehnya, kata Mak Semah lagi.
Baitusen panik. Ia kembali ke rumah. Ia membujuk istrinya meminta maaf pada Mak Semah. Apa? Minta maaf pada bidan kampung itu? Aku tak sudi! Antarkan saja aku ke pulau seberang, kata Mai Lamah.
Baitusen tak bisa memaksa istrinya. Dengan bersusah payah ia membopong istrinya ke perahu. Tiba-tiba Mai Lamah ingat sesuatu. Bang, cepat kembali ke rumah. Bawalah peti harta kita. Aku takut jika para tetangga mencurinya, katanya. Tapi peti itu berat sekali.
Bukankah kau menyimpan semua harta kita di dalamnya? jawab Baitusen. Justru karena itu Bang. Jika peti itu sampai hilang, habislah kita, kata Mai Lamah lagi. Baitusen pun menuruti perintah istrinya.
Baitusen mendayung perahunya sekuat tenaga. Perahu itu terasa berat. Apalagi, gelombang di lautan tinggi sekali. Perahu mulai oleng dan tenggelam. Mai Lamah berteriak-teriak melihat peti hartanya tenggelam.
Bang selamatkan peti harta kita. Jangan sampai tenggelam, Bang! Baitusen tak memedulikan hartanya. Baginya, keselamatan istrinya jauh lebih penting. Ia menarik tangan Mai Lamah dan terjun ke laut. Ia berusaha berenang sambil menarik istrinya menuju daratan.
Tapi sayang, Baitusen tak mampu lagi menyelamatkan istrinya. Tiba- tiba petir menyambar-nyambar dan hujan turun sangat deras. Secepat kilat, petir itu menyambar tubuh Mai Lamah. Tubuhnya berubah menjadi batu yang berbadan dua. Batu itu makin lama makin besar, menyerupai sebuah pulau.
Demikianlah akhir cerita Mai Lamah yang sombong itu. Pulau berbadan dua itu dikenal dengan nama Pulau Sanua yang berarti satu tubuh berbadan dua.
Masyarakat meyakini bahwa burung layang-layang putih yang banyak terdapat di Kepulauan Riau itu berasal dari perhiasan emas Mai Lamah.
Demikian cerita legenda Pulau Senua dari daerah Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari
Seperti sifat Mai Lamah yang pelit dan sombong serta tidak mensyukuri nikmat Tuhan akibatnya orang orang akan menjauhi kita dan enggan membantu ketika kita membutuhkan pertolongan.
Post a Comment for "Cerita Rakyat Riau - Kisah Pulau Senua"